Beranda, Cerpen

Papa aku ingin itu!

Perkenalkan nama ku Luluk Illiyah, aku terlahir dari sosok wanita yang begitu banyak perjuangan nya untuk melihatku sukses di dunia. Jemari kecilku ini melayang-layang di atas sebuah kertas tulis kosong sambil menggenggam pensil yang tak terlalu runcing ujungnya. Sesekali aku garukan pensilnya ke ubun-ubun kepalaku. Gelagatku nampak seperti anak dewasa tapi masih belia, bahkan malah seperti orang tua yang memiliki tunggakan cicilan rumah yang tak mampu dibayarnya. Papaku yang kebetulan sedari tadi sedang membuat teh panas memperhatikan anaknya di ruang tengah dari dapur. Tak heran karena anaknya yang biasanya bikin gaduh rumah, kali ini nampak lebih banyak diam. Karena penasaran, kemudian papaku mendekatiku dan bertanya…”Luk, kamu lagi ngerjain apa? Tugas Kuliah? Kok seperti orang bingung begitu?” tanya papa sambil mengaduk-ngaduk teh panasnya.

“Ah, betul ‘Pa, aku bingung mau jawab apa. Pertanyaannya soal cita-cita nanti kalau sudah besar mau jadi apa.” jawab ku sambil menggaruk-garuk kepala.

Sambil menyeruput tehnya, si papa kemudian tersenyum sambil bertanya, “kenapa harus bingung cantik? Coba bayangkan saja kalau kamu sudah besar nanti kira-kira kamu akan menjadi apa?”

Masih dengan kebingungan yang sama aku menjawab pertanyaan papa dengan pertanyaan, “Kalau papa menginginkanku jadi apa? Karena kudengar semua jawaban teman-temanku soal asal-usul cita-cita mereka, kebanyakan berasal dari harapan-harapan orang tua mereka.”

ayahku kemudian menepuk pundak ku sambil berkata “hidup yang sesungguh itu terlalu singkat, nak. Jika harus selalu mengikuti keinginan orang lain, kamu takkan pernah tahu arti dari kebahagiaan yang sesungguhnya. Hidupmu adalah hidupmu, kamu sendiri yang menjalaninya dan kamu sendiri yang menentukannya. Cita-cita itu hanyalah sebagian kecil dari inti kehidupan. Kamu akan tahu sendiri nanti tentang apa itu cita-cita dan bagaimana cara kerjanya menggapai cita-cita. Papa hanya minta satu hal kepadamu.”

“Apa itu, ‘Pa?” tanya ku setengah penasaran.

Sambil mengusap-ngusap rambut anak sulungnya itu, papa menjawab, “Jadi lah selalu orang yang berbuat baik, orang yang rendah hati.”

Kebuntuan yang aku rasakan kini nampak sudah terpecahkan, semua itu berubah menjadi rasa percaya diri. Dengan cepat, akupun langsung menggenggam pensil itu mulai menuliskan sesuatu di kertas kosong itu.

“Jadi, kamu sudah menentukan mau jadi apa nanti, Luk?” tanya papa

Senyuman bangga terurai di wajahku sambil mendekat pada papaku yang sedari tadi ada di sampingku.

“Aku mau jadi seorang penulis saja pa, biar aku di kenang oleh sejarah, dan aku ingin hidupku abadi walau nyatanya sudah mati.” ucapku dengan singkat.